GEJOLAKNEWS - Rina menatap layar laptopnya. Tapi tidak melihat apa-apa. Pikirannya berlari kencang. Bukan soal target penjualan. Tapi soal Budi.
Budi, rekan kerjanya, baru saja keluar dari ruangan bos. Senyumnya tipis. Terlalu tipis. Rina merasa jantungnya berdebar. Apa yang mereka bicarakan? Proyeknya? Posisinya?
| Gambar dari Pixabay |
Setiap ada email tanpa namanya di CC, Rina langsung waswas. Setiap ada rapat tertutup, imajinasinya liar. Ini politik kantor yang kejam. Atau sekadar otaknya yang lelah?
Pertanyaan ini menghantui banyak pekerja. Batas antara ancaman nyata dan kecemasan berlebih memang setipis kertas. Salah mengartikan, bisa salah langkah. Terlalu paranoid bisa merusak karier. Terlalu naif juga bisa jadi korban.
Inilah cara membedakannya. Bukan dengan ilmu gaib. Tapi dengan observasi dingin dan kesadaran diri. Karena medan perang sesungguhnya sering kali bukan di kubikel sebelah, tapi di dalam kepala kita sendiri.
Membaca Peta Pertempuran Nyata
Politik kantor itu ada. Itu fakta. Beberapa orang memang bermain sikut untuk maju. Kuncinya adalah melihat tanda-tanda dengan jernih, bukan dengan kacamata ketakutan.
Objektivitas adalah senjata utama Anda. Lepaskan dulu perasaan pribadi. Fokus pada data dan pola yang bisa diukur. Dari sanalah kebenaran mulai terlihat.
Jejak Digital dan Bukti Fisik
Jangan hanya mengandalkan perasaan "tidak enak". Perasaan bisa menipu, apalagi saat stres. Cari bukti konkret. Jejaknya sering kali ada di sana.
Apakah Anda sengaja tidak diundang dalam rapat penting? Cek undangan resminya. Apakah ide Anda diklaim orang lain? Lihat riwayat percakapan di email atau grup chat. Kumpulkan fakta, bukan asumsi.
Pola Perilaku, Bukan Insiden Tunggal
Satu kali Budi lupa menyapa Anda di pantry, itu bukan masalah. Bisa jadi ia sedang banyak pikiran. Tapi jika ia secara konsisten menghindari kontak mata, mengabaikan Anda di rapat, dan menyebar rumor kecil, itu adalah pola.
Ancaman nyata terlihat dari perilaku yang berulang. Catat dalam benak Anda. Satu kejadian adalah insiden. Tiga kejadian yang sama adalah tren. Tren inilah yang harus diwaspadai sebagai strategi politik.
Ketika Musuh Ada di Kepala Sendiri
Kadang, musuh terbesar bukanlah kolega. Melainkan kortisol, hormon stres yang membanjiri otak kita. Stres berat menciptakan distorsi realitas. Membuat bayangan kecil terlihat seperti monster raksasa.
Stres kronis mengubah cara kita memandang dunia. Semua hal terasa mengancam. Suara notifikasi email pun terasa seperti lonceng bahaya. Ini saatnya melihat ke dalam.
Cek Fisik, Cek Mental
Gejala stres sering kali muncul di tubuh lebih dulu. Sulit tidur? Sakit kepala tanpa sebab? Perut sering bermasalah? Ini adalah alarm dari tubuh Anda.
Jika fisik sudah memberi sinyal, mental biasanya sudah kewalahan. Anda jadi mudah tersinggung, sulit fokus, dan selalu berpikir yang terburuk (catastrophizing). Ini bukan tanda Anda lemah, tapi tanda Anda butuh jeda.
Lensa Realitas vs Lensa Distorsi
Coba lakukan tes realitas sederhana. "Bos terlihat muram hari ini, pasti karena kinerja saya buruk." Itu lensa distorsi. Pikiran Anda langsung melompat ke kesimpulan negatif tentang diri sendiri.
Ganti dengan lensa realitas. "Bos terlihat muram. Mungkin ia sedang ada masalah pribadi, atau tekanan dari atasannya." Dengan begini, Anda memisahkan fakta (bos muram) dari interpretasi negatif Anda. Latih ini terus-menerus.
Pada akhirnya, Rina menarik napas panjang. Ia membuka emailnya. Mencari bukti, bukan menguatkan asumsi. Ia juga membuat janji untuk liburan akhir pekan. Untuk mengisi ulang energinya.
Membedakan keduanya memang seni. Seni bertahan hidup di rimba korporat. Kadang Anda harus melawan manuver Budi. Tapi lebih sering, Anda harus melawan monster kecemasan di dalam diri Anda sendiri. Kemenangan sejati ada di sana.
#PolitikKantor #KesehatanMental #StresKerja
