GEJOLAKNEWS - Bulan. Benda langit yang jadi simbol keindahan. Tapi di puncak Perang Dingin, ia nyaris jadi panggung pamer kekuatan. Panggung yang mengerikan.
Kisah ini terkubur puluhan tahun. Di dalam arsip-arsip berdebu milik Angkatan Udara Amerika Serikat. Sebuah proyek dengan nama sandi yang terdengar ilmiah: "A Study of Lunar Research Flights". Tapi nama itu hanya kamuflase.
Gambar dari Pixabay
Nama aslinya: Proyek A119. Tujuannya sama sekali tidak romantis. Amerika ingin meledakkan bom nuklir di permukaan bulan.
Sebuah Pameran Kekuatan di Langit Malam
Semua ini bermula dari kepanikan. Uni Soviet baru saja meluncurkan Sputnik pada 1957. Dunia terkejut. Amerika Serikat merasa tertinggal dalam perlombaan ke angkasa.
Gedung Putih butuh sesuatu yang spektakuler. Sesuatu yang bisa menunjukkan supremasi teknologi mereka. Sesuatu yang bisa dilihat oleh seluruh dunia, termasuk Kremlin.
Ambisi Perang Dingin
Ide gila itu pun lahir. Ledakkan bom nuklir di bulan. Kilatannya akan terlihat dari Bumi dengan mata telanjang. Pesan yang ingin disampaikan jelas: jangan macam-macam dengan kekuatan nuklir kami.
Ini bukan soal sains. Ini murni propaganda. Sebuah unjuk gigi yang akan tercatat dalam sejarah. Para petinggi militer sangat menyukainya.
Proyek ini digarap dengan sangat serius. Tim ilmuwan terbaik dikumpulkan di Armour Research Foundation di Chicago. Mereka bekerja dalam kerahasiaan tingkat tinggi.
Rencana Gila di Atas Kertas
Rencananya sangat detail. Sebuah rudal balistik antarbenua akan diluncurkan menuju bulan. Muatannya bukan satelit, tapi hulu ledak nuklir W25.
Kekuatannya relatif kecil, setara 1,7 kiloton. Sebanding dengan bom yang dijatuhkan di Hiroshima. Cukup untuk menciptakan kawah dan kilatan dahsyat.
Targetnya pun sudah ditentukan. Titik ledakan harus di "terminator". Garis yang memisahkan sisi terang dan sisi gelap bulan. Tujuannya agar kilatan ledakan terlihat maksimal dari Bumi, dengan latar belakang sisi bulan yang gelap.
Sisi Manusiawi dan Pembatalan Senyap
Di antara tim ilmuwan itu, ada seorang anak muda brilian. Usianya baru 24 tahun. Namanya Carl Sagan.
Ia belum seterkenal sekarang. Saat itu, ia hanyalah seorang mahasiswa doktoral yang ditugaskan untuk tugas-tugas rumit. Salah satunya, memodelkan perilaku debu dan gas akibat ledakan nuklir di lingkungan gravitasi rendah bulan.
Peran Tak Terduga Carl Sagan
Sagan mengerjakan tugasnya dengan baik. Ia menghitung bagaimana awan debu akan menyebar. Seberapa besar dampaknya. Tapi di dalam hatinya, ia resah.
Dalam aplikasi beasiswanya, ia tanpa sengaja membocorkan detail proyek rahasia itu. Sebuah kesalahan yang bisa menghancurkan kariernya. Untungnya, komite beasiswa menjaga rahasia itu.
Kegelisahan Sagan bukan tanpa alasan. Ia khawatir ledakan itu akan mengkontaminasi lingkungan asli bulan secara permanen. Riset ilmiah tentang asal-usul bulan bisa hancur selamanya.
Mimpi Buruk yang Tak Pernah Terjadi
Kekhawatiran Sagan ternyata juga dipikirkan oleh para pejabat lain. Proyek ini punya risiko yang terlalu besar. Bagaimana jika rudalnya gagal mencapai bulan dan jatuh kembali ke Bumi?
Publik juga pasti akan marah. Meledakkan bom di bulan, simbol kedamaian universal, adalah sebuah langkah yang sangat tidak populer. Perlombaan ke angkasa bisa berubah menjadi perlombaan senjata di angkasa.
Akhirnya, pada Januari 1959, proyek ini dibatalkan secara diam-diam. Amerika memutuskan fokus pada hal yang lebih positif: mendaratkan manusia di bulan. Sebuah pilihan yang terbukti jauh lebih baik.
Kisah Proyek A119 baru terungkap ke publik pada akhir tahun 90-an. Ketika salah satu ilmuwan yang terlibat, Leonard Reiffel, akhirnya buka suara. Ini adalah pengingat betapa tipisnya batas antara ambisi dan kegilaan di era Perang Dingin.
#NASA #ProyekRahasia #PerangDingin