GEJOLAKNEWS - Namanya Budi. Usianya kini sudah kepala lima. Kulitnya legam terbakar matahari, khas nelayan pesisir. Ia duduk di bibir pantai, menatap ombak yang bergulung tenang. Laut yang sama, yang 18 tahun lalu merenggut segalanya.
Bagi Budi, laut adalah kawan sekaligus lawan. Ia memberinya ikan untuk hidup. Ia juga yang mengambil paksa istri dan anak semata wayangnya. Hari itu, ia menjadi saksi sebuah amarah alam yang tak terperikan. Ia selamat, tapi jiwanya remuk.
Gambar dari Pixabay
Kisah Budi adalah satu dari ribuan cerita yang tercecer. Cerita tentang bertahan hidup di tengah bencana paling mengerikan. Cerita tentang bagaimana manusia menemukan kembali harapan di atas puing-puing keputusasaan. Ini bukan sekadar cerita, ini adalah kesaksian.
Dinding Air yang Menelan Segalanya
Pagi itu seperti pagi lainnya. Matahari bersinar cerah. Budi sedang memperbaiki jala di depan rumah panggungnya. Anaknya yang berumur lima tahun bermain pasir. Istrinya sedang menyiapkan sarapan. Semua terasa normal.
Lalu tanah berguncang hebat. Sangat hebat. Rumah-rumah berderak seperti mau runtuh. Orang-orang berlarian keluar, panik. Budi menggandeng istri dan menggendong anaknya. Mereka berlari menjauhi pantai.
Tanda-tanda Ganjil
Setelah gempa reda, sesuatu yang aneh terjadi. Air laut surut dengan cepat. Sangat jauh ke tengah. Ikan-ikan menggelepar di dasar laut yang tiba-tiba kering. Beberapa orang justru berlari ke arah pantai, hendak memunguti ikan.
Budi merasa ada yang tidak beres. Firasat orang laut. Ia berteriak menyuruh semua orang lari ke bukit. "Air balik! Air balik!" teriaknya sekuat tenaga. Tapi suaranya hilang ditelan kebingungan massa.
Hantaman Tak Terbayangkan
Benar saja. Dari kejauhan, tampak garis putih di cakrawala. Garis itu semakin besar. Semakin tinggi. Menjadi dinding air raksasa berwarna hitam pekat. Suaranya gemuruh, seperti ribuan kereta api datang bersamaan.
Tak ada waktu. Budi hanya sempat memeluk erat keluarganya. Lalu hantaman itu datang. Gelap. Dingin. Penuh tekanan. Ia terlepas dari genggaman istri dan anaknya. Ia tergulung, terbentur, dan terseret arus deras yang membawa puing-puing bangunan.
Hidup Kembali dari Puing-puing
Entah berapa lama ia pingsan. Saat sadar, Budi sudah tersangkut di atas pohon kelapa. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya air cokelat dan puing. Desanya hilang. Rata dengan tanah. Ditelan lautan.
Ia sendirian. Jeritan minta tolong terdengar sayup-sayup, lalu hilang. Ia turun dari pohon, berjalan di atas lumpur dan mayat-mayat yang mengapung. Ia terus memanggil nama istri dan anaknya. Tapi yang menjawab hanya sunyi yang memekakkan.
Sunyi Setelah Badai
Berhari-hari Budi mencari. Ia tak peduli lapar. Ia tak peduli lelah. Ia hanya ingin menemukan keluarganya, dalam kondisi apa pun. Harapannya pupus saat menemukan secarik kain baju milik istrinya. Terjepit di bawah reruntuhan.
Ia menangis sejadi-jadinya. Di tengah kehancuran total, ia merasa menjadi manusia paling malang di dunia. Ia kehilangan jangkar hidupnya. Ia ingin menyerah. Tapi sesuatu di dalam dirinya menolak untuk mati.
Menjadi Saksi Hidup
Budi akhirnya dievakuasi ke kamp pengungsian. Ia bertemu dengan para penyintas lain. Mereka berbagi cerita yang sama. Cerita kehilangan dan kehancuran. Di sanalah ia sadar, ia tidak sendirian dalam duka.
Perlahan, Budi bangkit. Ia mulai membantu sesama korban. Mengangkat puing, mendistribusikan bantuan. Ia menemukan tujuan baru: hidup untuk mereka yang tidak selamat. Ia harus menceritakan kisahnya. Agar dunia tidak lupa. Agar generasi baru waspada.
Kini, Budi menjadi relawan kebencanaan. Ia sering diundang ke sekolah-sekolah. Mendidik anak-anak tentang mitigasi bencana. Laut telah mengambil keluarganya, tapi laut juga memberinya kehidupan kedua. Sebuah kehidupan untuk menjadi saksi.
#KisahInspiratif #KorbanBencana #Tsunami