GEJOLAKNEWS - Kita sering mendengar cerita aneh. Bagaimana mungkin seseorang bisa jatuh cinta pada penculiknya? Ide itu terdengar gila, tidak masuk akal.
Namun, fenomena ini nyata. Ilmuwan menyebutnya Sindrom Stockholm. Ini bukan cerita fiksi belaka, tapi respons psikologis yang kompleks.
| Gambar dari Pixabay |
Memahami Sindrom Stockholm berarti menyelami kedalaman jiwa manusia. Kita akan melihat bagaimana pikiran bertahan di situasi paling ekstrem. Ini adalah kisah tentang ikatan yang terbentuk dari rasa takut dan ketergantungan.
*
Mengurai Fenomena Aneh Itu
Pikiran kita mungkin menolak. Bagaimana bisa korban menyayangi pelaku kejahatan? Ini bukan cinta dalam arti normal. Ini adalah mekanisme pertahanan diri yang rumit.
Sindrom ini menunjukkan kerentanan luar biasa manusia. Juga, kapasitas adaptasi pikiran yang kadang mengejutkan. Mari kita gali lebih dalam asal-usulnya.
Asal Mula Nama
Nama Sindrom Stockholm lahir dari drama nyata. Tepatnya di sebuah bank di Swedia. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 1973.
Seorang narapidana bernama Jan-Erik Olsson mencoba merampok bank. Empat karyawan bank disandera selama enam hari yang menegangkan. Situasi tegang itu penuh ancaman dan ketidakpastian.
Selama penyanderaan, Olsson bahkan meminta rekannya, Clark Olofsson, untuk bergabung. Yang mengejutkan, para sandera justru mulai bersimpati pada para perampok. Mereka bahkan takut pada polisi yang mencoba menyelamatkan.
Para sandera menolak bersaksi melawan perampok. Bahkan, beberapa dari mereka mengunjungi para perampok di penjara. Inilah yang membuat psikolog dan media terheran-heran.
Criminolog Nils Bejerot lah yang pertama kali menyebut "Norrmalmstorgssyndromet". Nama itu kemudian populer sebagai "Stockholm Syndrome". Sebuah respons psikologis yang aneh dan membingungkan.
Bukan Cuma di Film
Banyak yang mengira Sindrom Stockholm hanya ada di film Hollywood. Padahal, kasus serupa sering muncul di berbagai belahan dunia. Tidak selalu dalam kasus penculikan spektakuler.
Salah satu kasus terkenal adalah Patty Hearst. Dia adalah pewaris kaya raya yang diculik tahun 1974. Setelah diculik, Hearst malah ikut bergabung dengan kelompok penculiknya, Tentara Pembebasan Symbionese (SLA).
Dia bahkan terlibat dalam perampokan bank bersama mereka. Hearst kemudian mengaku dirinya dipaksa. Namun, banyak spekulasi tentang sejauh mana ia "terikat" pada kelompok tersebut.
Kasus lain terjadi dalam hubungan abusif. Misalnya, di mana korban kekerasan domestik kesulitan meninggalkan pasangannya. Mereka justru membela atau merasa tergantung pada pelaku. Ini adalah varian dari ikatan traumatis yang serupa.
Ini menunjukkan bahwa fenomena ini lebih luas. Ini bukan hanya cerita sensasional, tetapi pola respons manusia. Sebuah respons terhadap ancaman dan isolasi yang ekstrem.
*
Logika di Balik Ikatan Tak Lazim
Sindrom Stockholm bukan berarti korban itu bodoh. Bukan pula mereka menikmati penderitaan. Ini adalah respons bawah sadar untuk bertahan hidup. Sebuah strategi bertahan ketika semua pilihan terbatas.
Pikiran kita mencari cara untuk mengurangi trauma. Ia mencari celah untuk melihat harapan. Bahkan dalam situasi yang paling gelap sekalipun.
Mekanisme Psikologis yang Bekerja
Ada beberapa faktor psikologis yang berperan. Pertama, ancaman kematian yang nyata. Korban tahu bahwa hidup mereka sepenuhnya di tangan penculik. Setiap tindakan kecil penculik terasa sangat penting.
Kemudian, ada isolasi. Korban terputus dari dunia luar. Penculik menjadi satu-satunya sumber informasi dan interaksi. Dunia mereka menyempit hanya pada pelaku dan ruang penyekapan.
Penculik kadang menunjukkan "kebaikan" kecil. Misalnya, memberikan makanan atau tidak menyakiti. Tindakan ini, betapapun kecilnya, dipersepsikan sebagai belas kasih besar. Ini memicu rasa terima kasih.
Korban mulai berempati pada pelaku. Mereka mencoba memahami motif pelaku. Ini adalah cara untuk merasa lebih aman. Jika mereka bisa memahami, mungkin mereka bisa memprediksi dan bertahan.
Identifikasi dengan agresor juga sering terjadi. Korban mulai mengadopsi pandangan penculik. Ini adalah mekanisme pertahanan ego. Ini membantu mereka mengatasi rasa takut dan ketidakberdayaan.
Ini mirip cara anak kecil bergantung pada orang tua. Sangat tergantung pada belas kasihan sang "penguasa". Perasaan takut bercampur dengan rasa syukur atas "kebaikan" kecil.
Membedakan dari Empati Biasa
Penting untuk membedakan. Sindrom Stockholm bukan empati biasa. Bukan pula cinta romantis yang sukarela. Ini adalah ikatan traumatis, sebuah respons adaptif.
Ini adalah bentuk penyangkalan bawah sadar. Korban tidak ingin mengakui diri mereka dalam bahaya besar. Mereka mencoba menciptakan narasi yang lebih aman dalam pikiran mereka.
Mereka mulai melihat penculik sebagai "penyelamat" dari bahaya yang lebih besar. Bahaya yang mungkin datang dari polisi atau dunia luar. Paradoks ini sangat menyiksa.
Pasien yang mengalami sindrom ini perlu dukungan. Mereka membutuhkan pemahaman. Bukan penghakiman atas pilihan yang sebenarnya tidak mereka pilih.
Proses penyembuhan bisa panjang. Membutuhkan terapi dan dukungan sosial. Mereka harus mengurai ikatan yang terbentuk dari trauma. Ini adalah perjalanan sulit menuju pemulihan psikologis.
*
Sindrom Stockholm adalah pengingat. Otak manusia luar biasa dalam beradaptasi. Bahkan dalam kondisi yang paling tidak manusiawi sekalipun. Ini bukan tentang cinta. Ini adalah tentang bertahan hidup.
#SindromStockholm #PsikologiKorban #TraumaPenculikan
