GEJOLAKNEWS - Budi menatap cangkir kopinya yang mulai dingin. Sudah satu jam ia begitu. Duduk di teras rumah yang dulu ia tinggalkan dengan tergesa-gesa setiap pagi.
Kini tidak ada lagi ketergesaan. Tidak ada lagi dasi yang harus diluruskan. Tidak ada lagi dering telepon dari atasan yang membuatnya berdebar. Semuanya lenyap.
Gambar dari Pixabay
Perusahaan tempatnya mengabdi belasan tahun itu bangkrut. Bukan hanya pekerjaan yang hilang. Tapi seluruh dunianya. Tempatnya berlabuh, kini hancur lebur.
Budi merasa seperti kapal tanpa pelabuhan. Terapung di lautan ketidakpastian. Teman-teman kantor yang dulu setiap hari makan siang bersamanya, kini sepi di grup WhatsApp. Jangkar sosialnya ikut tercabut.
Ini bukan sekadar cerita Budi. Ini kisah jutaan orang yang sistem pendukungnya tiba-tiba runtuh. Bisa karena PHK, perceraian, atau duka mendalam. Lalu, bagaimana cara membangun dermaga baru di tengah badai?
Dermaga yang Runtuh
Rasanya seperti tanah di bawah kaki Anda tiba-tiba amblas. Semua yang Anda kenal sebagai penopang hidup, hilang begitu saja. Ini adalah fase pertama: realisasi kehancuran.
Penerimaan adalah langkah yang menyakitkan. Tapi harus dilalui. Mengakui bahwa dermaga yang lama memang sudah tidak ada.
Kehilangan Jangkar Rutinitas
Manusia adalah makhluk kebiasaan. Rutinitas adalah jangkar yang membuat kita merasa aman. Bangun pagi, berangkat kerja, bertemu orang yang sama, pulang sore.
Ketika jangkar itu hilang, kita terombang-ambing. Pagi hari terasa hampa. Siang hari terasa panjang tanpa tujuan. Malam datang dengan kecemasan.
Kehilangan rutinitas lebih dari sekadar kehilangan jadwal. Itu adalah kehilangan sebagian dari identitas diri. "Saya adalah seorang manajer" atau "Saya adalah bagian dari tim itu" kini menjadi "Saya dulu adalah..."
Lingkaran Sosial yang Meredup
Sistem pendukung terbesar sering kali datang dari lingkungan terdekat. Rekan kerja adalah salah satunya. Mereka bukan sekadar teman, tapi saksi perjuangan harian kita.
Ketika sumber utama interaksi itu hilang, lingkaran sosial ikut meredup. Obrolan yang dulu relevan kini terasa canggung. Perlahan, undangan kumpul-kumpul berhenti datang.
Isolasi menjadi musuh terbesar. Perasaan sendirian ini bisa lebih merusak daripada kehilangan pekerjaan itu sendiri. Rasanya tidak ada lagi yang mengerti. Tidak ada lagi tempat berbagi.
Membangun Kapal di Tengah Badai
Berada di titik nol memang menakutkan. Tapi titik nol juga berarti kanvas kosong. Kesempatan untuk membangun sesuatu yang baru, yang mungkin lebih kuat.
Proses ini tidak instan. Butuh waktu, kesabaran, dan keberanian untuk meletakkan batu bata pertama. Kapal baru ini dibangun saat badai masih menderu.
Batu Bata Pertama: Diri Sendiri
Sebelum mencari dermaga di luar, pelabuhan pertama yang harus dibangun adalah di dalam diri. Ini adalah fondasinya. Tanpa ini, bangunan lain akan mudah goyah.
Mulailah dari hal terkecil. Rapikan tempat tidur setiap pagi. Berjalan kaki keliling kompleks selama 15 menit. Membaca satu halaman buku.
Aktivitas-aktivitas kecil ini adalah cara untuk mengambil kembali kendali. Menciptakan rutinitas mikro yang baru. Ini adalah pesan untuk alam bawah sadar: "Saya masih memegang kendali atas hidup saya."
Menenun Jaring Pengaman Baru
Setelah fondasi internal mulai kuat, saatnya menenun jaring ke luar. Jaring ini tidak akan muncul sendiri. Ia harus dibuat, helai demi helai.
Hubungi satu teman lama yang tidak ada hubungannya dengan masa lalu yang hancur. Ikut komunitas hobi yang selama ini hanya jadi angan-angan. Entah itu klub sepeda, kelas menulis online, atau kelompok relawan di lingkungan.
Awalnya akan terasa aneh dan canggung. Tapi setiap interaksi baru adalah satu helai benang untuk jaring pengaman Anda. Jaring inilah yang kelak akan menjadi sistem pendukung Anda yang baru. Lebih beragam, dan mungkin lebih otentik.
Budi akhirnya mulai bangkit. Ia bergabung dengan komunitas pecinta tanaman hias di kotanya. Ia menemukan gairah baru. Orang-orang di sana tidak mengenalnya sebagai "mantan manajer". Mereka mengenalnya sebagai Budi, si ahli merawat sukulen.
Kapal Budi mungkin belum besar dan mewah. Tapi ia sudah punya kemudi. Dan ia sedang menuju pelabuhan-pelabuhan baru yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Karena terkadang, dermaga yang hancur justru memaksa kita untuk belajar menjadi pelaut yang tangguh.
#KesehatanMental #PengembanganDiri #Resiliensi
