GEJOLAKNEWS - Pak Harun bukan orang kaya raya. Tapi ia pekerja keras seumur hidupnya. Dari satu petak kios kelontong, ia membangun tiga ruko yang jadi sandaran hidup.
Istrinya sudah lama berpulang. Tiga anaknya, dua laki-laki dan satu perempuan, sudah berkeluarga semua. Selama Pak Harun hidup, mereka terlihat rukun. Lebaran selalu kumpul. Makan malam sering bersama.
Gambar dari Pixabay
Lalu Pak Harun wafat di usia 72 tahun. Tangis pecah. Kehilangan terasa nyata. Tapi duka itu tak bertahan lama. Seminggu setelah pemakaman, aroma lain mulai tercium. Aroma rupiah.
Benih Perpecahan yang Tumbuh Subur
Peninggalan Pak Harun sederhana saja. Tiga ruko, sebidang tanah di kampung, dan sisa tabungan yang tak seberapa. Tidak ada surat wasiat. Di sinilah masalah bermula.
Pak Harun percaya, anak-anaknya bisa berembuk dengan adil. Ia keliru besar. Kepercayaan itu kini jadi sumber petaka.
Dari Bisik-Bisik Jadi Teriakan
Anak sulung, sebut saja Bimo, merasa paling berhak. Ia yang paling lama membantu di toko. Ia merasa ruko utama adalah jatahnya. Adil, katanya.
Anak kedua, Candra, menolak. Menurutnya, semua harus dijual dan dibagi rata. Ia butuh modal untuk usahanya yang sedang goyah. Itu baru adil, sanggahnya.
Anak bungsu, Dian, hanya diam awalnya. Tapi suaminya mulai membisiki. "Kamu juga anak, hakmu sama. Jangan mau kalah," begitu katanya setiap malam. Dari bisikan di kamar, Dian mulai berani bersuara di grup WhatsApp keluarga.
Logika yang Saling Membenci
Setiap anak punya logikanya sendiri. Setiap logika dibungkus dengan justifikasi. Bimo merasa berjasa. Candra merasa terdesak kebutuhan. Dian merasa punya hak yang setara.
Tidak ada yang mau mengalah. Kasih sayang yang dulu dipamerkan saat ayah mereka hidup, kini menguap entah ke mana. Niat sebenarnya mulai telanjang. Ini bukan lagi soal warisan, tapi soal siapa yang paling menang.
Pertemuan keluarga yang harusnya untuk mendoakan almarhum, berubah jadi arena debat. Suara meninggi. Pintu dibanting. Air mata yang keluar bukan lagi karena duka, tapi karena amarah.
Ketika Rupiah Lebih Bernilai dari Darah
Konflik memuncak. Telepon tak lagi diangkat. Pesan WhatsApp hanya dibaca tanpa dibalas. Tali persaudaraan itu menipis, nyaris putus oleh ketamakan.
Mereka lupa pelajaran Pak Harun soal pentingnya kebersamaan. Mereka hanya ingat nilai ruko yang terus naik. Mereka hanya melihat angka nol di buku tabungan.
Dari Meja Makan ke Meja Hijau
Jalan buntu. Bimo, didorong oleh istrinya, memutuskan mengambil langkah ekstrem. Ia menunjuk pengacara. Surat somasi dilayangkan kepada kedua adiknya.
Dunia seolah berhenti berputar bagi Candra dan Dian. Saudara kandung kini saling berhadapan lewat perantara hukum. Meja makan keluarga telah berganti menjadi meja hijau pengadilan.
Biaya pengacara tidak murah. Waktu dan energi terkuras. Aib keluarga mulai tercium tetangga. Nama baik Pak Harun yang dibangun puluhan tahun, kini tercoreng oleh anak-anaknya sendiri.
Pelajaran Pahit di Balik Angka Nol
Proses pengadilan berjalan alot. Saling tuding. Saling buka aib masa lalu. Hubungan mereka hancur lebur, tak mungkin bisa direkatkan kembali.
Mungkin nanti pengadilan akan memutuskan. Mungkin ruko itu akan terjual. Mungkin uang akan terbagi. Tapi ada yang hilang dan tak akan pernah kembali: sebuah keluarga.
Pak Harun pasti menangis di alam sana. Harta yang ia kumpulkan dengan keringat bukan untuk memecah belah. Tapi untuk menjamin masa depan mereka. Ironisnya, jaminan itu justru menghancurkan kebersamaan mereka. Kisah ini adalah cermin bagi kita semua. Bahwa uang bisa membeli banyak hal, tapi tidak akan pernah bisa membeli kembali saudara yang telah hilang.
#HartaWarisan #KonflikKeluarga #HukumWaris
