GEJOLAKNEWS - Kopi di cangkir Suryo sudah lama dingin. Sedari tadi hanya diaduk-aduk tanpa diminum. Pikirannya lebih keruh dari ampas kopi di dasar cangkir.
Ini bukan lagi soal rumah peninggalan bapaknya. Ini sudah soal lain. Sesuatu yang lebih dalam dan lebih tajam dari sekadar pembagian harta. Sesuatu yang membuatnya merasa asing di tengah keluarganya sendiri.
Gambar dari Pixabay
Semua bermula sebulan lalu. Kakak perempuannya, Ani, menelepon dengan suara yang dibuat seramah mungkin. "Yo, gimana kalau rumah Bapak kita jual saja? Biar adil, hasilnya kita bagi tiga," katanya. Suryo menolak halus, dengan alasan kenangan.
Lalu giliran abangnya, Darto, yang datang. Kali ini nadanya lebih menekan. "Kita semua butuh uang, Yo. Jangan egois," ujarnya, menepuk-nepuk pundak Suryo yang terasa seperti hantaman batu. Tekanan itu kini datang setiap hari, dari berbagai penjuru.
Bisikan Halus yang Menjadi Badai
Tekanan itu tidak datang seperti ombak besar yang langsung menerjang. Ia datang seperti gerimis. Tetes demi tetes, perlahan tapi pasti, membasahi dan mendinginkan semua kehangatan yang pernah ada.
Mulanya hanya obrolan santai. Di grup WhatsApp keluarga, Ani sering mengirim foto-foto rumah modern. "Bagus ya, rumah kayak gini. DP-nya bisa dari hasil jual rumah Bapak," tulisnya, seolah iseng. Suryo hanya membacanya, tanpa membalas.
Lalu, Darto mulai membawa "orang pintar". Katanya ahli properti. Orang itu menjelaskan potensi keuntungan jika rumah tua itu dijual sekarang. "Lokasinya strategis, Pak. Sayang kalau cuma jadi kenangan," kata si ahli properti. Suryo merasa seperti terdakwa di pengadilan yang ia tidak tahu apa kesalahannya.
Dari Obrolan Warung Kopi
Obrolan santai itu kemudian berpindah ke forum yang lebih serius. Acara arisan keluarga mendadak menjadi sidang tidak resmi. Paman dan bibi ikut angkat bicara, seolah sudah mendapat pengarahan sebelumnya. Semuanya menyudutkan Suryo.
Mereka bilang Suryo tidak memikirkan masa depan keponakan-keponakannya. Mereka bilang Suryo menghambat rezeki saudara-saudaranya. Kata "adil" dan "kebersamaan" diulang-ulang, tapi terasa hampa. Rasanya seperti senjata yang ditodongkan ke kepalanya.
Suryo tetap diam. Ia tahu, di balik semua kata-kata manis itu, ada agenda yang tidak ia pahami. Ada desakan yang terasa aneh, terburu-buru, dan panik. Ini bukan lagi soal kebutuhan, ini soal keputusasaan.
Ancaman Terselubung di Balik 'Nasihat'
Ketika bujukan tak lagi mempan, nada bicara pun berubah. Ani menelepon sambil menangis. "Kamu tega lihat anak-anakku sekolahnya susah? Cuma kamu harapan kami," isaknya di telepon. Itu bukan permintaan tolong, itu teror emosional.
Darto lebih frontal. Ia mengirim pesan: "Kalau sampai akhir bulan ini tidak ada keputusan, jangan salahkan kami kalau hubungan kita renggang." Sebuah ultimatum yang membekukan darah. Kata "keluarga" yang selama ini diagungkan, kini dijadikan alat tawar.
Suryo merasa lelah. Bukan lelah karena menolak, tapi lelah karena harus curiga pada orang-orang yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung. Ia mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka begitu nekat?
Membaca Peta di Medan Perang Keluarga
Suryo memutuskan untuk tidak lagi menjadi karung tinju. Ia harus mencari tahu. Ia harus mengerti apa yang mendorong saudara-saudaranya berubah menjadi orang asing yang haus akan uang warisan.
Ia mulai dari hal kecil. Ia mengobrol dengan satpam kompleks perumahan Darto. Ia juga bertanya pada teman lama yang kebetulan satu kantor dengan suami Ani. Perlahan, kepingan-kepingan puzzle itu mulai terkumpul.
Gambar yang terbentuk dari kepingan itu sungguh mengejutkan. Bahkan lebih buruk dari yang ia bayangkan. Ini bukan tentang keserakahan biasa. Ini tentang lubang utang yang menganga.
Bisnis Properti dan Utang Tersembunyi
Suami Ani ternyata terlibat investasi bodong. Uang tabungan ludes, bahkan ia meminjam dari rentenir. Mereka butuh dana segar secepatnya untuk menutupi lubang itu sebelum semuanya runtuh. Rumah warisan adalah satu-satunya jalan keluar.
Sementara itu, Darto baru saja di-PHK dari pekerjaannya. Ia malu mengakuinya. Ia membangun citra sukses, padahal di belakang, cicilan mobil dan rumahnya sudah menunggak berbulan-bulan. Ia butuh uang itu untuk menyelamatkan gengsinya.
Suryo terduduk lemas. Jadi, ini alasannya. Tekanan itu lahir dari kepanikan. Nasihat-nasihat itu lahir dari ketakutan. Mereka tidak sedang merencanakan masa depan, mereka sedang lari dari masa lalu yang kelam. Mereka tidak memberitahunya karena malu.
Jalan Tengah atau Putus Arang?
Kini Suryo memegang kartu truf. Ia tahu rahasia mereka. Ia bisa saja membongkarnya di pertemuan keluarga berikutnya dan membuat mereka terdiam. Tapi, apakah itu akan menyelesaikan masalah?
Di satu sisi, ia marah karena dibohongi dan ditekan. Di sisi lain, ia kasihan melihat saudara-saudaranya terpojok. Mereka tetaplah darah dagingnya. Orang yang tumbuh besar bersamanya di rumah yang kini mereka perebutkan.
Suryo kembali menatap cangkir kopinya. Ia harus membuat keputusan. Menjual rumah dan membantu mereka, tapi dengan syarat keterbukaan penuh? Atau mempertahankan rumah itu dan membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri, dengan risiko putusnya tali persaudaraan?
Konflik harta warisan ternyata bukan hanya tentang uang. Ia adalah cermin yang memantulkan semua retak tersembunyi dalam sebuah keluarga. Dan Suryo kini harus menatap pantulan retak itu lekat-lekat.
#HartaWarisan #KonflikKeluarga #HubunganKeluarga