GEJOLAK - Kabar dari seberang benua mengguncang telinga para pejabat di Senayan. Seorang mahasiswa Indonesia, Aditya Harsono Wicaksono, ditangkap oleh otoritas imigrasi Amerika Serikat. Ia bukan kriminal, bukan teroris, hanya seorang lulusan magister yang pernah bersuara dalam demonstrasi menuntut keadilan atas kematian George Floyd.
Penangkapannya terjadi di Marshall, Minnesota, pada 27 Maret 2025. Saat itu, Aditya tengah bekerja sembari menanti proses pengajuan kartu hijau setelah menikahi warga negara AS. Namun visanya dicabut secara mendadak. Tiba-tiba statusnya berubah dari pelajar menjadi tahanan.
Siapa Aditya? Ia adalah sosok yang pernah turun ke jalan saat dunia menoleh ke AS dalam gelombang Black Lives Matter. Ia ditangkap saat jam malam, didakwa atas perusakan properti, namun kemudian dibebaskan. Tetapi dalam sistem hukum AS yang rumit dan keras terhadap pendatang, satu jejak bisa jadi bom waktu.
![]() |
Foto: Ilustrasi Bing |
Kini Aditya mendekam di penjara lokal di Kandiyohi County, sementara pemerintah Indonesia masih dalam posisi mengejar ketertinggalan. Komisi I DPR melalui Junico Siahaan mendesak Kementerian Luar Negeri dan KJRI Chicago untuk lebih aktif. Kasus ini bukan hanya urusan personal, tapi menyangkut harga diri bangsa dalam melindungi warganya di tanah asing.
Nico, begitu ia akrab disapa, menekankan bahwa pendampingan hukum harus dilakukan dengan profesional. Aditya memiliki hak untuk dibela dan tidak didiskriminasi. Ini bukan hanya soal aturan imigrasi, tetapi juga tentang hak atas kebebasan berekspresi yang semestinya dilindungi di negara demokrasi.
Masalah bertambah pelik karena sejak dua tahun terakhir, Indonesia belum juga memiliki Duta Besar di Washington DC. Kekosongan itu membuat diplomasi kita pincang. Tidak ada yang bisa berbicara langsung di level tinggi dengan pemerintah AS saat kasus seperti ini muncul. Dan inilah akibatnya: warga kita berjuang sendirian.
Nico mengingatkan, perwakilan diplomatik bukan hanya untuk memotong pita saat kunjungan kenegaraan. Mereka adalah garda terdepan, pelindung bagi diaspora dan pelajar yang menghadapi tantangan hukum di luar negeri. Ketidakhadiran Dubes membuat perlindungan terhadap WNI menjadi lamban dan tidak maksimal.
Aditya adalah simbol. Ia mewakili ribuan anak muda Indonesia yang berani bersuara di luar negeri. Tapi juga menjadi pengingat bahwa suara itu bisa dibungkam bila negara tak hadir. Karena itu, Komisi I DPR meminta Presiden segera mengirimkan nama calon Dubes RI ke AS agar bisa segera disahkan.
Ini bukan hanya soal Aditya. Ini soal kita. Karena warga negara, di manapun mereka berada, tidak pernah kehilangan haknya untuk dilindungi. Dan negara, sesuai konstitusi, tak boleh absen dalam tugas mulia itu.***