Kisah Nyata 'The Terminal': Pria yang Terjebak Tinggal di Bandara Selama 18 Tahun

GEJOLAKNEWS - Dunia punya banyak kisah aneh. Tapi kisah satu pria ini melampaui batas imajinasi. Ia terjebak. Bukan di hutan atau pulau terpencil, melainkan di sebuah bandara. Bandara Charles de Gaulle di Paris. Selama 18 tahun, tempat itu adalah rumahnya. Namanya Mehran Karimi Nasseri.

Dia bukan penumpang transit biasa. Nasseri adalah seorang pengungsi politik Iran. Ia kehilangan semua dokumennya. Paspor dan visa lenyap di tasnya yang dicuri.

Gambar Ilustrasi Artikel
Gambar dari Pixabay

Itu terjadi saat ia dalam perjalanan menuju Inggris. Dokumen kependudukannya hilang di stasiun kereta api Paris. Kemudian, ia ditolak masuk Inggris. Prancis juga tak mengakuinya.

Dia menjadi stateless, tanpa negara dan identitas. Terjebak di limbo hukum. Nasseri tidak bisa masuk ke negara mana pun, juga tidak bisa kembali ke Iran.

Pilihan terakhirnya adalah tinggal di zona transit. Di Terminal 1 Bandara Charles de Gaulle. Tempat itu menjadi "rumahnya" mulai tahun 1988.

Kisah Awal di Terminal 1

Hilangnya Dokumen dan Kehilangan Negara

Nasseri lahir di Masjed Soleiman, Iran, pada tahun 1945. Ayahnya seorang dokter Iran, ibunya seorang perawat Inggris. Ia kuliah di Inggris. Pada 1977, Nasseri dipenjara dan diusir dari Iran.

Alasannya karena kegiatan politiknya. Sejak itu, ia mencari suaka di berbagai negara Eropa. Belgia akhirnya memberinya status pengungsi pada tahun 1981.

Namun, ia punya keinginan untuk tinggal di Inggris. Pada tahun 1988, saat menuju Inggris, tasnya dicuri. Di dalamnya ada sertifikat pengungsi dan semua dokumen penting. Tanpa dokumen, ia tidak bisa membuktikan statusnya.

Petugas imigrasi Inggris menolaknya. Mereka mengirimnya kembali ke Prancis. Di Prancis, ia juga ditolak masuk. Tanpa dokumen, statusnya menjadi tidak jelas.

Ia pun tak bisa menuntut hak suaka yang sudah diberikan Belgia. Nasseri merasa dokumennya dicuri di Paris. Ia menolak bepergian ke Belgia untuk mendapatkan dokumen baru.

Ia bersikeras bahwa ia harus kembali ke Paris. Ia ingin dokumennya dipulihkan di sana. Itu adalah keputusan pribadinya yang rumit.

Kehidupan Tak Terduga di Bangku Tunggu

Maka, dimulailah kehidupannya di Terminal 1. Sebuah bangku merah plastik menjadi tempat tidurnya. Troli bagasi berisi harta bendanya. Ia selalu menjaga diri tetap bersih.

Setiap pagi, ia mandi di toilet umum bandara. Pakaiannya dicuci di wastafel. Ia makan dari voucher makanan yang diberikan staf bandara. Terkadang, ia mendapat sumbangan dari penumpang yang lewat.

Hari-harinya diisi dengan membaca buku. Ia juga menulis jurnal kehidupannya. Staf bandara mengenalnya baik. Mereka memanggilnya "Sir Alfred."

Ia bahkan membangun semacam rutinitas. Nasseri akan bangun, membersihkan diri, dan duduk di bangku favoritnya. Mengamati lalu lalang manusia.

Dunia terus bergerak di sekitarnya. Ribuan orang datang dan pergi setiap hari. Hanya Nasseri yang tetap tinggal. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari pemandangan bandara.

Para pekerja bandara bersimpati padanya. Mereka sering membawakan koran atau kopi. Beberapa bahkan mengobrol dengannya. Ia dikenal sebagai sosok pendiam dan sopan.

Dari Kaca Bandara ke Layar Lebar

Perhatian Dunia dan Inspirasi Hollywood

Kisah Nasseri mulai menarik perhatian media. Reporter dari seluruh dunia datang mewawancarainya. Berita tentang "pria bandara" ini menyebar.

Ia menjadi sensasi. Keberadaannya menyoroti celah dalam sistem imigrasi internasional. Bagaimana seseorang bisa begitu mudah "hilang" dari sistem.

Pada tahun 2004, kisahnya sampai ke telinga Steven Spielberg. Sutradara terkenal itu tertarik. Film "The Terminal" pun lahir.

Tom Hanks memerankan Victor Navorski. Karakter yang terinspirasi dari Nasseri. Film itu sukses besar. Kisah Nasseri menjadi legenda.

Nasseri sendiri menerima bayaran sekitar 250.000 dolar AS. Itu untuk hak atas kisah hidupnya. Uang itu disimpan untuknya. Ia tidak meninggalkan bandara.

Uang sebesar itu tetap tidak membuatnya pergi. Ia memilih tetap di sana. Mungkin sudah terbiasa. Mungkin merasa lebih aman. Atau memang tak punya tujuan lain.

Ia menonton filmnya di bandara. Mungkin ada perasaan campur aduk. Hidupnya menjadi tontonan dunia. Padahal ia hanya ingin kembali ke rumah.

Akhir Perjalanan yang Tak Terduga

Pada tahun 1999, Prancis menawarkan dokumen pengungsi kepadanya. Belgia juga setuju mengembalikan dokumennya. Ia menolak tawaran tersebut. Ia merasa dokumen yang ditawarkan tidak akurat.

Identitas yang tercantum tidak seperti yang ia inginkan. Ia bersikeras bahwa ia adalah "Sir Alfred Mehran." Bukan nama yang tertera di dokumen. Ini menambah kerumitan situasinya.

Tahun 2006, kesehatannya memburuk. Ia dirawat di rumah sakit. Setelah keluar, ia tidak kembali ke bandara. Sebuah organisasi amal Prancis membantunya.

Mereka mencarikan tempat tinggal. Nasseri pindah ke sebuah penampungan. Di Paris. Setelah 18 tahun, ia akhirnya meninggalkan Terminal 1.

Ia tinggal di penampungan selama beberapa tahun. Lalu menghilang dari pandangan publik. Kisahnya seolah berakhir. Namun, bandara selalu menjadi bagian dari dirinya.

Pada November 2022, Nasseri kembali ke Charles de Gaulle. Ia tinggal di area publik bandara lagi. Sepertinya ia merindukan tempat itu.

Tiga belas tahun setelah pergi, ia kembali. Ia ditemukan meninggal dunia di bandara. Pada 12 November 2022. Wafat secara alami.

Di bandara yang sama. Di mana ia menghabiskan sebagian besar hidupnya. Kematiannya menandai akhir sebuah kisah luar biasa. Kisah seorang pria yang mencari rumah, namun menemukan takdir di sebuah bandara.

Nasseri meninggalkan warisan unik. Ia adalah simbol absurditas birokrasi. Ia juga bukti ketahanan semangat manusia. Terjebak namun tetap hidup.



#MehranKarimiNasseri #KisahNyata #BandaraCharlesdeGaulle

LihatTutupKomentar
Cancel