Fakta Mencengangkan: Pria Ini Selamat 438 Hari Terombang-ambing di Lautan Pasifik Seorang Diri

GEJOLAKNEWS - Laut bisa jadi sahabat. Bisa juga jadi kuburan. Bagi José Salvador Alvarenga, laut adalah keduanya. Selama 438 hari.

Ini bukan skenario film. Ini kisah nyata. Seorang nelayan sederhana yang dipaksa menjadi legenda. Tanpa persiapan. Tanpa pilihan.

Gambar Ilustrasi Artikel
Gambar dari Pixabay

Alvarenga bukan petualang. Ia hanya seorang nelayan ikan hiu. Mencari nafkah di lepas pantai Meksiko. Rutinitas yang biasa ia jalani berubah menjadi neraka pada 17 November 2012.

Saat itu, ia melaut bersama seorang rekan yang lebih muda. Namanya Ezequiel Córdoba, 22 tahun. Mereka hanya berencana pergi satu-dua hari. Perbekalan pun seadanya.

Namun, takdir punya rencana lain. Rencana yang jauh lebih brutal. Yang akan menguji batas kemampuan manusia untuk bertahan hidup.

Perjalanan Menuju Neraka Biru

Semua berawal dari cuaca yang tiba-tiba memburuk. Badai datang tanpa ampun. Ombak setinggi gedung melahap pandangan. Langit dan laut seolah menyatu dalam kemarahan.

Perahu kecil mereka, hanya 7 meter, terasa seperti sebutir gabus. Diombang-ambingkan ke segala arah. Harapan satu-satunya adalah mesin. Tapi mesin itu mati.

Badai yang Mengubah Segalanya

Mesin perahu batuk-batuk. Lalu diam selamanya. Alvarenga berusaha memperbaikinya. Tangannya yang terampil tak berdaya melawan kerusakan.

Radio komunikasi juga ikut mati. Mereka terputus dari dunia. Benar-benar sendirian di tengah amukan Pasifik. Badai itu berlangsung lima hari. Lima hari yang terasa seperti selamanya.

Ketika badai reda, pemandangannya mengerikan. Tidak ada daratan terlihat. Hanya hamparan biru tak bertepi. Matahari memanggang tanpa ampun. Mereka resmi tersesat.

Dua Nyawa, Satu Harapan

Awalnya, mereka berdua. Alvarenga dan Córdoba. Saling memberi semangat. Berbagi sisa perbekalan yang ada. Tapi bekal itu habis dalam hitungan hari.

Lapar dan haus mulai menyiksa. Mereka harus berimprovisasi atau mati. Alvarenga, dengan pengalaman lautnya, mulai berburu. Dengan tangan kosong.

Ia menangkap ikan-ikan kecil yang bersembunyi di bawah perahu. Menangkap burung laut yang kelelahan dan hinggap di perahunya. Bahkan menangkap kura-kura yang berenang di dekatnya.

Mereka memakan semuanya mentah-mentah. Untuk minum, mereka menadah air hujan. Jika tidak ada hujan, pilihannya mengerikan: minum darah kura-kura atau urine sendiri.

Bertahan Hidup Melawan Logika

Bulan pertama berlalu. Lalu bulan kedua. Harapan untuk diselamatkan semakin tipis. Setiap kapal yang terlihat di kejauhan tak pernah melihat mereka.

Kondisi fisik dan mental mereka merosot tajam. Tubuh kurus kering. Kulit terbakar matahari. Tapi tantangan terbesar bukanlah fisik. Melainkan pikiran.

Di sinilah perbedaan antara Alvarenga dan Córdoba menjadi jurang pemisah. Jurang antara hidup dan mati.

Menu Makan di Tengah Samudra

Alvarenga bisa menelan apa saja. Baginya, ini bukan soal rasa. Ini soal bahan bakar untuk terus hidup. Daging burung mentah, ikan mentah, semua ia lahap.

Tapi tidak dengan Córdoba. Perut pemuda itu menolak. Ia terus muntah setiap kali mencoba makan daging mentah. Ia mulai depresi dan putus asa.

Suatu hari, Córdoba menolak makan sama sekali. Ia menyerah. Sekitar empat bulan setelah mereka terdampar, Córdoba menghembuskan napas terakhirnya. Di pelukan Alvarenga.

Kesendirian dan Kekuatan Mental

Alvarenga kini benar-benar sendirian. Selama enam hari, ia terus berbicara dengan jenazah sahabatnya. Seolah tak rela melepaskan satu-satunya kawan manusianya.

Akhirnya, ia sadar. Ia harus melepaskannya. Setelah mengucapkan selamat jalan, ia mendorong tubuh Córdoba ke lautan. Ia berjanji pada sahabatnya. Ia akan bertahan hidup dan menceritakan kisah mereka.

Janji itulah yang membuatnya kuat. Ia melawan halusinasi. Ia melawan keinginan untuk menyerah. Ia terus berburu. Terus menadah hujan. Terus berharap.

Hingga pada hari ke-438. Ia melihat sesuatu yang berbeda di cakrawala. Bukan kapal. Bukan awan. Itu adalah daratan. Pepohonan kelapa. Surga hijau setelah 14 bulan di neraka biru.

Dengan sisa tenaga terakhir, ia berenang ke tepian. Ia mendarat di Ebon Atoll, sebuah pulau terpencil di Kepulauan Marshall. Lebih dari 10.800 kilometer dari tempatnya berangkat. Penduduk setempat menemukannya. Kurus, jenggotnya panjang, dan nyaris tak bisa bicara. Tapi ia hidup. José Salvador Alvarenga telah menepati janjinya.



#KisahInspiratif #JoséSalvadorAlvarenga #SurvivaldiLaut

LihatTutupKomentar
Cancel