GEJOLAKNEWS - Tahun itu 1971. Di ruang bawah tanah Universitas Stanford yang pengap, sebuah drama mengerikan akan segera dimulai. Sutradaranya adalah seorang profesor psikologi ambisius, Philip Zimbardo.
Zimbardo punya pertanyaan besar. Apakah kejahatan itu datang dari dalam diri manusia, atau diciptakan oleh lingkungan sekitarnya? Ia ingin mencari tahu, dan ia tidak takut untuk menciptakan lingkungan itu sendiri. Maka, lahirlah Eksperimen Penjara Stanford.
Gambar dari Pixabay
Sebanyak 24 mahasiswa laki-laki yang sehat secara mental dan fisik direkrut. Mereka dibayar $15 per hari untuk berpartisipasi dalam "simulasi penjara". Secara acak, separuh dijadikan "penjaga", separuh lagi "tahanan". Tidak ada yang menyangka, simulasi ini akan menjadi terlalu nyata.
Ambisi di Bawah Tanah Stanford
Eksperimen ini dirancang untuk berlangsung selama dua minggu. Lorong-lorong bawah tanah departemen psikologi diubah menjadi sel-sel penjara yang suram. Semua dibuat serealistis mungkin untuk memancing reaksi yang otentik dari para pesertanya.
Penjara Palsu, Penderitaan Nyata
Para "tahanan" benar-benar ditangkap di rumah mereka oleh polisi sungguhan. Mereka digeledah, diambil sidik jarinya, dan dibawa ke "penjara" dengan mata tertutup. Di sana, mereka dilucuti pakaiannya, diberi seragam tipis dengan nomor identitas, dan dirantai di pergelangan kaki.
Para "penjaga" diberi seragam khaki, kacamata hitam cermin untuk menyembunyikan mata, dan sebuah pentungan. Zimbardo, sang peneliti utama, mengambil peran sebagai kepala sipir penjara. Aturannya sederhana: para penjaga harus menjaga ketertiban tanpa menggunakan kekerasan fisik.
Hari pertama berjalan canggung. Semua orang tahu ini hanya permainan. Tapi suasana cepat berubah saat malam tiba. Permainan peran mulai merasuki jiwa mereka.
Seragam yang Mengubah Sifat
Memasuki hari kedua, sebuah pemberontakan kecil pecah. Para tahanan melepas nomor mereka dan membarikade pintu sel. Respon para penjaga sungguh di luar dugaan. Mereka menjadi brutal.
Mereka menyemprotkan alat pemadam api ke dalam sel, memaksa para tahanan telanjang, dan menyita kasur mereka. Hukuman fisik, seperti push-up tanpa henti, menjadi pemandangan biasa. Para penjaga mulai menikmati kekuasaan absolut yang mereka miliki.
Mahasiswa yang tadinya ramah dan cerdas, berubah menjadi sadis saat mengenakan seragam penjaga. Sebaliknya, para tahanan yang awalnya percaya diri, menjadi patuh, pasif, dan menunjukkan tanda-tanda stres emosional yang parah. Mereka lupa bahwa mereka adalah peserta sukarela.
Peluit Akhir yang Terlambat Dibunyikan
Zimbardo sendiri ikut terseret dalam drama yang ia ciptakan. Ia bukan lagi seorang peneliti objektif, melainkan kepala sipir yang terobsesi menjaga keamanan penjaranya. Ia mengabaikan tanda-tanda bahaya yang semakin jelas di depan matanya.
Seorang tahanan, Nomor 8612, mengalami gangguan emosional hebat hanya setelah 36 jam. Ia berteriak, mengumpat, dan menangis tak terkendali. Awalnya, Zimbardo mengira ia hanya berakting, namun akhirnya terpaksa melepaskannya.
Suara dari Luar Tembok
Titik balik datang dari orang yang tak terduga. Christina Maslach, seorang mahasiswi pascasarjana (yang kemudian menjadi istri Zimbardo), datang untuk mewawancarai para peserta. Ia terkejut melihat kondisi yang mengerikan itu.
Ia melihat para penjaga menggiring tahanan ke kamar mandi dengan kantong kertas di kepala mereka. Mereka dipermalukan dan diperlakukan tidak manusiawi. Maslach langsung menentang Zimbardo. "Apa yang kamu lakukan terhadap anak-anak ini adalah hal yang mengerikan," katanya.
Kritik tajam dari orang luar inilah yang akhirnya menyadarkan Zimbardo. Ia melihat eksperimennya bukan lagi dari sudut pandang kepala sipir, melainkan dari mata seorang manusia. Ia sadar, semuanya sudah berjalan terlalu jauh.
Pelajaran Mahal dari Ruang Psikologi
Pada hari keenam, dari rencana dua minggu, Eksperimen Penjara Stanford dihentikan secara tiba-tiba. Dunia psikologi gempar. Eksperimen ini menjadi studi kasus paling terkenal tentang kekuatan situasi dalam membentuk perilaku manusia.
Hasilnya memang mengejutkan: orang baik bisa melakukan hal-hal buruk jika ditempatkan dalam situasi yang salah. Seragam, peran, dan kekuasaan bisa mengubah seseorang secara drastis, menyingkirkan identitas pribadi mereka.
Namun, harga yang harus dibayar sangat mahal. Eksperimen ini memicu perdebatan sengit tentang etika dalam penelitian ilmiah. Sejak saat itu, aturan untuk melindungi partisipan dalam studi psikologi menjadi jauh lebih ketat. Kisah di bawah tanah Stanford menjadi pengingat abadi bahwa sains, tanpa nurani, bisa menjadi monster yang menakutkan.
#EksperimenIlmiah #PsikologiSosial #EtikaPenelitian