Cerpen: Wajah Dalam Lukisan

Mereka berangkulan. Ayah, ibu serta kedua anak mereka. Anak kalian selalu yang terbaik dalam ajang mana saja. Runtuhan pujian jatuh berkeping-keping ke telinga ayah dan ibu. Berikut, pengumuman dari podium kehormatan : Kembali, pada pameran galeri tahun ini di kota La Paz, dua saudara kakak beradik, Melky dan Sandi sama-sama berkualitas di bidangnya. Masing-masing berhasil merekam fragmen surealis wajah manusia yang luar biasa menawan dalam bingkai. Semua setuju memberi aplaus. Bahkan dengan cara berdiri. Yang lain tertegun melihat bingkai persegi berlamping kain putih.

Saya mendengar aplaus di tengah auditorium luas itu seperti sebuah pengabulan doa. Doa untuk tetap diakui sebagai satu dari deretan seniman sepanjang masa. Saya berbalik ke arah Melky untuk menggerakkannya maju ke depan podium setelah MC membaca nama kami.

Ayoh!. Kamu mengantuk saja dari tadi. Melky tersentak dengan teramat biasa dan berjalan menuju podium kaca. Kami mendapat dua penghargaan masing-masing untuk kategori art disigner dan man of art. Diangkatnya piala bundar putih salju itu dan diciumnya berulang-ulang. Juga saya. Sesuatu yang tak biasa pada Melky. Saya  menempatkan piala itu di sudut genggaman tangan lalu turun podium. Kami berpelukan sepanjang jalan dan menerima salaman dari tamu tamu.

Setelah tangisan itu didengar Om Minggus, cepat-cepat beserta istrinya pergi mengambil dua anak itu. Bapak, nanti saya menyusul. Biar saya urus dulu biaya rumah sakit wanita miskin berwajah tompel itu. Bapak sigap supaya membawa anak-anak kembar itu pergi dari rumah sakit ini secepatnya. Sambil memikirkan wajah adiknya yang memang ada satu tanda di muka, sejenis tompel, ia mengingat pula wajah ibu mereka. Ibu yang ia sebut mama juga punya tanda lahir. Ah. Hanya adiknya yang bisa mengembalikan masa lalu ke dalam ingatan.

Istri Om Minggus sudah membereskan semua biaya persalinan juga untuk perawatan ibu dua anak kembar tadi. Ia sengaja memperpanjang waktu perawatan hingga dua bulan di rumah sakit dengan setumpuk uang. Tanpa menyentuhkan matanya di tubuh anak-anak itu, ibu mereka ikhlas menyakini perkataan istri Om Minggus. Kita terlambat. Dengan terus mengusap air mata, ia berujar lagi. Semestinya mereka tidak bernasib sama. Ada apa kakak? Di mana mereka. Sebelum persalinan, dokter sudah meminta kami untuk memilih. Kakakmu tidak tega membiarkanmu pergi juga anak-anak yang akan kamu lahirkan. Kami memilih risiko terkecil sambil terus berjuang menyelamatkan anak-anak itu. Ibu harus maklum. Kita hanya bisa berdoa. Sekarang kakakmu sedang berjuang menemui dokter untuk menyelamatkan anak-anakmu. Di mana? Di Dili.
Cerpen: Wajah Dalam Lukisan

Mereka berdua mengikuti Surat Keputusan kepindahan Om ke Dili. Sebulan kemudian, di tahun 1994 mutasi dadakan di jajaran Kepala Dinas dan Sub-Subnya, mereka ikut dimutasi. Cepat-cepat istri Om Minggus menghilangkan semua risalah tentang  kakak beradik itu di hati dan kepala ibu mereka. Diberinya kepastian melalui rekayasa catatan medis seadanya tentang akibat bayi kembar itu yang perlu serius ditangani.

Mereka harus dirawat di rumah sakit khusus. Saat keluar dari rahim mereka tidak menangis. Aneh. Sesuatu yang tak biasa untuk kebiasaan di kampung. Dengan rela di antara tirai putih rumah sakit itu, ibu menyelakan seluruh gelisah dan cintanya yang tak berujung itu. Ia seperti masih punya di kepala mimpi yang ia kekalkan di balik bantal rumah sakit.

Semua ini karena perilakumu yang tidak bertanggungjawab. Kau tega meninggalkanku di saat aku harus menuju rumah sakit seorang diri. Kau selalu terlambat mengirim uang. Itu kebiasaanmu. Pertengkaran melalui udara itu seakan memperpendek jarak sang istri dan Malaysia. Tapi kamu sendiri tahu. Betapa sulitnya mengambil hati majikan di negeri ini. Banyak uang habis hanya untuk pajak sana sini yang tidak jelas.

Tapi kenapa anak kita harus dipanggil pulang begitu cepat? Sudahlah. Kita harus berpikir untuk mengganti uang Kakak Minggus dan istrinya. Bahkan, setelah tak tertolong, jenazah anak kita sudah mereka urus hingga beres. Akan berdosa kalau kita tidak melunasi kebaikan hati mereka. Aku akan mengirimkan uang, kebetulan ada teman yang akan kembali.

Di mana mereka dikuburkan? Menurut Kakak Minggus, anak-anak itu setelah dibawa ke Jakarta, mereka meninggal di sana. Dan mereka kesulitan uang untuk mengirim kembali jenazah anak kita. Kau jangan hanya bertanya. Ucapkan terima kasih untuk Kakak Minggus dengan berbuat sesuatu.

Penghargaan sudah biasa untuk mereka. Sejak Sekolah Dasar, disabet merekalah apa saja yang terbaik sebagai seniman kuas. Tangan mereka bahkan lebih halus daripada kuas. Menanjak hingga Sekolah Menengah dan Atas hingga atasan mana saja di bidang seni tak urung menjuluki Raden Saleh zaman  kemerdekaan. Lalu mereka sama-sama mengambil jurusan seni di Istanbul Art School. Festival demi festival, sejak dari Berlin, mereka selalu bergelar.

Tumpukan piala dan piagam berantai panjang. Bahkan galeri art dibangun khusus oleh orang tua mereka di salah satu kawasan di Jakarta Timur. Luar biasa. Begitulah ekspresi kebanggaan kedua orang tua itu tiap kali menyaksikan Melky dan Sandi didaulat ke atas podium prestisus, seperti yang sekarang ini pada festival Seni di Tokyo.

Ayah. Aku punya keinginan. Suatu saat aku mau menjadi seorang pelukis. Aku juga ayah. Aku mau melukis dunia dari sisi yang gelap ayah. Misalnya, orang-orang yang menganggap kematian dan kehilangan seperti angin yang datang dan pergi. Kejeniusan mereka dan darah seni, yang oleh ayah dan ibu, entah berasal dari turunan siapa, begitu kental.

Ketika kembali ke tanah air, semua media menyorot keberadaan kakak beradik itu. Mulai dari tempat teduh setiap kali mereka akan menari-kan kuas, hingga alamat rumah dan lingkungan sekitar yang sejuk untuk menjadi seorang maestro surealis sekelas Basuki Abdullah. Selain itu, perlahan nama Ayah dan Ibu mereka ikutan tenar.

Hingga wah benar ketenaran mereka. Bahkan dinobatkan sebagai orang tua teladan tahun 1997 oleh Presiden. Dengan motivasi dan daya juang besar, mereka telah menjadi ispirasi terbesar dalam hidup Melky dan Sandi, anak mereka itu.

Demikian sebuah media mengekspos berita. Oleh karena itulah setiap kali kami akan menuju sebuah festival, kami tidak bisa sendiri tanpa ayah dan ibu. Di mana saja, sejak dari Istambul, Berlin, Singapura, Italy, Swedia, Belanda, London, Jerman, hingga di Tokyo, bapak dan mama itulah yang menjadi manajer sekaligus tokoh buat Melky dan Sandi. Iya, sejak kecil kami sudah yakin, anak-anak kami akan menjadi orang hebat.

Dengan tekun kami memfasilitasi pendidikan sesuai minat dan bakat mereka. Kamu tahu betul keinginan anak-anak kami. Dan kami bangga telah melahirkan dan membesarkan mereka dengan karunia yang telah Tuhan berikan ini. Begitulah setiap kali diundang untuk memberikan sepenggal komentar (sifatnya sangat rohani yah) sebagai tokoh panutan Melky dan Sandi.

Melky, kamu yakin ibu dan bapak itu salah membawa koran dan selendang macam orang dari udik mana lah? Ah aku sudah mengusirnya. Seperti orang kampung yang salah alamat di kota. Iya. Berani-beraninya dia menerobos pintu pagar mau menemui ayah dan ibu. Mungkin dia tidak tahu alasan Presiden menerimakan penghargaan prestisus buat ayah dan ibu. Heran! Masih juga tidak paham. Sudah. Begitulah mindsetnya orang pedesaan. Tidak paham dengan gengsi-gengsian. Suka serobot macam rebutan minyak tanah.

Melky memanggil pak Satpam lagi oleh tingkah laki-laki dan perempuan tadi. Ah, coba lihat itu! Mereka kembali lagi. Dengan sebalok kayu, Satpam berteriak: pergi sana. Dasar orang kampung. Punya tompel tidak urus, maunya serobot rumah orang. Wanita itu tertunduk dan menutupi sejenis tahi lalat besar/tompel di mukanya.

Sebelum satu menit mereka pergi Sandi berlari menuju kamar. Dibukanya bingkai foto lukisannya sendiri yang telah mendulang namanya sebagai pelukis dunia sekelas pelukis Perancis, Claude Monety.

Lalu ia berlari menuju kamar Melky. Didahului pertengkaran kecil, Sandi berhasil membuka tutup kain putih bingkai lukisan Melky. Seketika keringat, entah bercampur dengan semacam titik air mata, sudah menetes di lantai melalui pipi. Kamu kenapa Sandi? Kakak, apa kakak buta? Lihat ini. Ini apa? Sandi terus membolak-balik lukisan itu untuk memfahami Melky. Iya, itukan lukisan kita. Ini laki-laki. Ini Perempuan. Siapa mereka. Siapa yang kakak lukis sebagai ibu ini? Melky tertegun. Itu kan wajah orang-orang pedesaan. Lihat itu tom...pel. Melky dan Sandi berlari menuju gerbang. Mengejar laki-laki dan perempuan itu. Mereka tak menjumpai apa-apa selain angin yang menghantar sunyi.
Wajah Dalam Lukisan
Karya : Januario Gonzaga
Sumber : Pos Kupang
LihatTutupKomentar
Cancel